ivaa-online.org

Taring Padi

Memberikan ruang pada kebebasan pemikiran rakyat sama artinya dengan mempersenjatai rakyat bersama ide-ide progresif yang tumbuh dalam kelompok. Berawal dari penolakan terhadap opresi yang terjadi dalam kungkungan doktrin di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, kelompok Taring Padi terbentuk untuk bergerak melawan doktrin yang menekan bukan hanya sektor ekonomi dan politik, tapi juga seni dan budaya – dengan represi terhadap ekspresi dan perkembangan manusia itu sendiri di bawah totaliter rezim.

Kehadiran Taring Padi dalam iklim tekanan rezim dimulai dengan manifesto Lima Iblis Budaya [1], yang dideklarasikan pada 21 Desember 1998 di kantor LBH Yogyakarta sebagai refleksi penindasan seni sekaligus sosial politik yang tak berpihak pada rakyat, dengan bunyi sebagai berikut:

  1. Lembaga-lembaga seni maupun budaya yang menitik-beratkan seni untuk seni, individual, oportunis yang selalu mensosialisasikan doktrin-doktrin yang sesat dengan tujuan mempertahankan status quo dan berupaya menjauhkan perkembangan seni dengan masyarakat, yang baginya masyarakat terbagi atas golongan-golongan yang dilihat dari kemampuan ekonomi/kebendaan semata (atas, menengah, bawah).
  2. Pemerintah/Penguasa melalui departemen-departemen yang mengurusi seni dan budaya, melakukan hal-hal yang menunjang status quo dan berupaya membentuk kebudayaan Indonesia yang hanya dijual keeksotisannya demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
  3. Lembaga-lembaga seni yang memfungsikan lembaganya sebagi legitimator atas pekerja seni, karya seni, dan penentu arah perkembangan seni.
  4. Sistem yang merusak moral pekerja seni karena hanya berjuang untuk kepentingan individu tanpa memikirkan kepentingan rakyat, bahkan mengeksploitasi penderitaan rakyat untuk kepentingan individual.
  5. Kurangnya pemahaman serta fungsi seni dalam masyarakat sebagai akibat politik Orde Baru yang mementingkan “Ekonomi sebagai Panglima” dan Kolusi, Korupsi serta Nepotisme sebagai taktiknya.

Taring Padi menentang secara keras paham ‘seni untuk seni’ yang dipertahankan dalam lembaga-lembaga kebudayaan baik milik privat maupun negara. Bagi mereka, aforisme ‘seni untuk seni’ sama artinya dengan belenggu terhadap kesenian dan kebudayaan yang disetir oleh kepentingan (pe)modal belaka, yang hanya akan berujung pada penghancuran terhadap warisan budaya Indonesia – yang tentu saja akan berimbas pula pada belenggu terhadap rakyat sebagai bagian dalam perkembangan budaya itu sendiri.

Secara total menolak ‘seni untuk seni’, Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi mengusung apa yang mereka sebut ‘Seni Kerakyatan’ sebagai tugas utama yang mereka emban dengan diimplementasikan dalam berbagai ekspresi kesenian dan kebudayaan.  Dengan berorientasi pada rakyat yang ditindas oleh sistem yang opresif, Taring Padi memanifesto pemikiran-pemikiran mengenai keadilan sosial dalam karya-karya poster yang selalu lekat dengan dimensi sosial-politik Indonesia dengan teknik cukilan (woodcut) di atas kertas dan kanvas.

Secara lantang kelompok Taring Padi yang anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang menyuarakan perlawanan terhadap penindasan dalam kehidupan sosial politik yang terjadi dalam karya seni dengan pendekatan kolektif. Karya-karya poster cetak tinggi Taring Padi selalu dekat dengan penggambaran mengenai kondisi maupun pesan-pesan sosial berkaitan dengan kehidupan kaum proletar dan marginal, seperti petani, tukang becak, buruh; maupun menggambarkan protes terhadap isu praktik yang tak berpihak pada rakyat.

Selain poster, karya seni Taring Padi juga hadir dalam bentuk performans / teatrikal jalanan, skulptur, dan musik punk rock. Pada tahun 1998 sebelum kerusuhan Mei, Taring Padi bersama dengan mahasiswa melakukan demonstrasi di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menentang rezim Soeharto.

Dengan berorientasi pada rakyat tersebut, kelompok ini juga turut terlibat dalam aktivitas masyarakat memberdayakan masyarakat setempat melalui pendekatan seni dan kebudayaan, seperti pengajaran menggambar bagi anak-anak di kampung, mengundang partisipasi warga setempat dalam pentas musik dan puisi, atau pemberdayaan dengan bergabung bersama kelompok-kelompok musik masyarakat setempat.

Beberapa anggota Taring Padi ikut grup dangdut “Soekar Madjoe” dan Dendang Kampungan (DK), yang menciptakan lagu-lagu yang relevan dengan keadaan masyarakat, dan dimainkan dalam berbagai acara di kampus-kampus dan di tengah masyarakat Yogyakarta atau di kota-kota sekitarnya. [2]

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Rifky Effendy dalam artikel Realisme Soedjojono dan Praktek Seni Rupa Kontemporer di Indonesia, kelompok ini “menggunakan bentuk – bentuk artistik yang komunikatif dengan masyarakat luas dan menciptakan interaktivitas, kolaborasi site spesifik  bahkan harus mencempungkan diri mereka di tengah kehidupan masyarakat lokal… Bagi mereka ideologi tak bisa terpisahkan dengan cara kerja artistik dan pemahaman estetiknya.” [3]

Karya-karya seni kelompok Taring Padi begitu identik dengan apa yang disebut sebagai pendekatan seni realisme sosialis. Gaya realisme sosialis sendiri telah diusung oleh Sudjojono dengan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) sebagai bentuk penolakan terhadap gaya lukis mooi indie yang seolah menampik kondisi rakyat yang sebenarnya menderita. Pendekatan ini dapat menjadi salah satu cara untuk mendidik massa, sebab karya seni bagi Taring Padi adalah sebuah alat aksi – senjata ide-ide revolusioner dan progresif yang berasal dari rakyat.

Seni Realis Sosialis tidak diciptakan untuk museum, galeri, kolektor swasta, atau connoisseurs. Realisme Sosialis diperkenalkan berbareng dengan dihapusnya pasar bebas, termasuk di situ, pasar seni. Negara Sosialis menjadi satu-satunya konsumen seni. Negara Sosialis ini hanya peduli dengan satu jenis kesenian – seni yang bermanfaat secara sosial dan yang akan menarik minat massa, mendidik mereka, mengilhami mereka, memandu mereka. Karena itu, seni Realis Sosialis ujung-ujungnya dibuat untuk reproduksi, distribusi, dan konsumsi massa – bukan untuk kontemplasi perorangan yang terkonsentrasi. [4]

Meski melakukan pendekatan karya seni yang kolektif, Taring Padi juga tidak menutup kemungkinan  mencipta karya seni secara individu, sebab “konsep kebutuhan perorangan harus dipertimbangkan dalam konteks demokratis, dimana seorang individu memiliki tanggung jawab kemasyarakatan.”[5]

Pada pertengahan 2011, Taring Padi meluncurkan buku Seni Membongkar Tirani di beberapa kota; berisi rekaman perjalanan dan penciptaan karya seni Taring Padi selama 10 tahun.

 

Referensi:

1 Taring Padi. Lima Iblis Budaya. http://taringpadi.com/about. Diakses pada 22 Juni 2012

2 Ibid.

3 Rifky Effendy. Realisme Soedjojono dan Praktek Seni Rupa Kontemporer di Indonesia.

4 Boris Groys. 2010. Mendidik Massa: Seni Realis Sosialis. http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=74. Diakses pada 22 Juni 2012

5 Taring Padi. Lima Iblis Budaya. http://taringpadi.com/about. Diakses pada 22 Juni 2012

JUDUL TAHUN PEMBUATAN
Tidak ada data