ivaa-online.org

Eko Nugroho

Eko Nugroho (lahir di Yogyakarta, 1977), adalah salah satu seniman muda Indonesia yang paling menonjol terutama dengan pencapaiannya selama satu dekade terakhir. Selain aktif sebagai seniman individual sejak mahasiswa di ISI, Eko awalnya dikenal sebagai penggiat komunitas komik ‘Daging Tumbuh’, terutama dengan menerbitkan sendiri komik berjudul sama secara reguler dengan semangat Do-It-Yourself, mengumpulkan pembuat komik independen dari berbagai tempat dan mencetaknya dengan medium fotokopi. Dari sini ia menjadi semacam ‘cult icon’ di kalangan seniman muda ‘indie’ Yogyakarta, Bandung dan Jakarta.
 
Perhatian lebih luas terhadap karya Eko adalah ketika tahun 2002, dia berpameran tunggal dengan tajuk "Bercerobong" di Cemeti Art House, Yogyakarta. Karya-karyanya dianggap menyuntikkan warna segar bagi seni rupa di Indonesia. Terutama dengan gaya gambarnya yang khas, komikal, surreal dan dicampur dengan teks campursari berbagai bahasa dengan pemaknaan yang absurd namun satirik dan jenial. melalui berbagai medium mulai dari komik, mural, performance, animasi dan juga materi yang menjadi salah satu ciri khasnya: bordir.

Sejak itu, Eko seperti tak terbendung. Eko tak habis-habis berkarya dan diundang residensi di berbagai negara di Asia, Australia, Eropa, dan Amerika Serikat, beberapa di antaranya adalah 5th Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art at Queensland Art Gallery, Australia (2006); "Wind From the East" di Kiasma Museum of Contemporary Art in Helsinki, Finland (2007); “Something From Nothing” dengan kurator Dan Cameron di the Contemporary Art Center (CAC), New Orleans, AS (2008) dan Busan Biennale, “Expenditure” (2008).

Kekuatan Eko, seperti yang diuraikan oleh Kurator Adeline Ooi adalah kebebasan tanpa rasa beban dalam memandang kategori dan pengkotakan seni rupa.  Ia selalu melakukan pendekatan berkarya dengan keluguan yang ceria dan lugas, tanpa terhambat teori, tradisi atau konvensi. Ini sangat tampak dengan bahan-bahan ‘remeh’ yang ia pakai seperti bordir, stiker, karpet dan sebagainya, juga keliarannya dalam menuangkan bentuk visual seperti imaji-imaji komikal yang bercampur dengan unsure klasik seperti patung dan wayang. Eko bermain-main antara ‘high art’ dengan budaya jalanan atau populer, dan dengan itu ia mencoba mencurahkan perspektifnya yang unik sebagai seniman yang hampir selalu diinspirasi kehidupan sehari-harinya di Yogyakarta.

Seperti bagaimana ia terinspirasi untuk menggunakan bordir, papar Eko, “Tahun 1999 dulu banyak konflik sosial timbul dan memunculkan geng-geng anak muda, dan salah satu ciri khas mereka adalah selalu memakai emblem bordir yang disulamkan di punggung jaket mereka, sebagai identitas. Mereka menginspirasi saya bagaimana emblem bordir menjadi penanda pemberontakan terhadap sistem. Lalu saya menemukan sebuah desa di Tasikmalaya yang terkenal dengan para pembordirnya, maka saya belajar membordir disitu.”

Pengamatan dan keterlibatannya dengan masyarakat sekitarnya juga menjadi basis utama dari premis berkaryanya secara keseluruhan, seperti pada pameran tunggalnya "Multicrisis is Delicious" di Galeri Semarang, 2008, yang merefleksikan kontradiksi kultural bangsa Indonesia. Untuk membuat karya-karya di pameran itu, Eko menyempatkan diri berbaur dengan masyarakat setempat. Dia ikut jagongan di gardu ronda, nongkrong bersama petani di sawah, arisan, atau menghadiri hajatan di kampung. 

Persoalan-persoalan itu lantas disaring lagi untuk dikentalkan jadi gagasan karya. Pameran itu hasil pengamatan Eko akan budaya yang merasuki warga kampung. Ada budaya maya di televisi yang gemerlap dan materialis, budaya agraris di sawah yang pahit, budaya kerja buruh di pabrik yang keras, budaya birokrasi yang artifisial, atau budaya kebatinan Jawa yang sublim. "Ketika semua budaya itu berbaur, lahirlah macam-macam kontradiksi. Ini inspirasi yang menarik," katanya.

Pendekatan yang membumi dan sederhana itu memunculkan karya-karya yang bisa membuat orang tersenyum, tersentil dan kadang juga terbingungkan oleh berbagai absurditas dan deformitas ala Eko - yang menariknya: banyak orang dari berbagai latar belakang merasa bisa dengan mudah merasa dekat dengan karyanya. Strategi seperti itu jugalah yang selalu ia terapkan ketika melakukan proyek seni dan residensi di luar negeri. Seperti partisipasinya di  Veduta Project, Lyon Biennale IX, “Spectacle of the Everyday” yang dikurasi Hou Hanru (2009), berbentuk mural dan pentas performance Wayang kontemporer dengan komunitas pekerja seni dan kaum imigran di Lyon. Juga pada saat residensi dengan SAM Art Projects Paris yang dikuratori antara lain oleh Hans-Ulrich Orbist, karya-karya dibuat Eko dari berinteraksi dengan masyarakat Paris sambil membuat snapshot dengan bersepeda keliling kota itu.

Ujar Eko, “Mengkomunikasikan pengalaman saya ke audiens dari latar belakang geografis dan budaya yang berbeda-beda adalah aspek paling penting dari karya saya. Saya selalu tertarik dengan interaksi antara masyarakat sehari-hari dengan seni saya. Respon mereka tak pernah sama, dan sangat berbeda dari respon pengunjung galeri atau museum. Saya penasaran dengan apa yang mereka rasakan dan ‘seni’ seperti apa yang mereka lihat. Ini selalu saya libatkan danmasukan sebagai inspirasi saya dalam berkarya, bahkan juga perkembangan personal saya sendiri.”

Setahun terakhir ini, 2011-2012 jadwal Eko padat berkeliling dunia dengan berpartisipasi di pameran kolektif ‘Tranfigurations’ di Espace Culturel Louis Vuitton, Paris, dan berturut-turut pameran tunggal di Art Gallery of South Australia, ‘The Eko Chamber’,  “Témoin Hybride (Hybrid Witness)” di Museum of Modern Art Paris, 2012 dan puncaknya di Arndt Gallery, Berlin, ‘Threat With a Flavor’.

Disarikan dari:

Matti Koskinen , Interview with Eko Nugroho, February 18th, Art, Interviews, 2007

Ilham Khoiri, ‘Sirkus Eko Nugroho’, KOMPAS - Minggu, 16 Nov 2008

Adeline Ooi, "The Space Between Eko and Nugroho", dalam "Eko(Space)Nugroho", Daging Tumbuh Studio, Yogyakarta, Indonesia 2011

Kunang Helmi, ‘A splash in Paris: Eko Nugroho’, Jakarta Post, Sun, 02/19/2012

Lisa Siregar, ‘For an Indonesian in Paris, Bravo’, Jakarta Globe, April 09, 2012