ivaa-online.org

Entang Wiharso

Entang Wiharso (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 19 Agustus 1967) Lulusan dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta tahun 1994 dan sekarang berbasis di Yogya dan Rhode Island, AS. Sejak pertengahan 1990-an Entang sangat produktif membuat karya dengan berbagai eksplorasi medium dengan tema-tema yang mencakup persoalan politik, ekonomi, krisis identitas dan isu budaya, dengan ciri khas gaya visualnya yang lantang, grotesk dan teatrikal, mencampurkan berbagai elemen tradisi dengan pendekatan kontemporer.

Entang mulai meraih perhatian para pengamat seni rupa sejak pameran tunggal pertamanya bertajuk "Konflik, Mimpi dan Tragedi" di Purna Budaya Yogyakarta, 1995. Tahun 1996 ia masuk 100 besar dalam Philip Morris Art Awards, dan sebuah majalah berita nasional, Gatra, menobatkannya sebagai satu di antara Indonesian Top 36 Indonesia Artists 1996. Setahun kemudian ia berpameran tunggal di Native Gallery, Rhode Island, Amerika Serikat, sekaligus melakukan residensi di Providence, Rhode Island, dan berlanjut di di Pacific Bridge Contemporary Southeast Asian Art, Oakland, USA Oakland, California.

Hasil dari rangkaian residensi itu kemudian memunculkan momentum pameran tunggalnya yang dianggap sebagai titik tolak perjalanan kesenimanannya, Nusa Amuk,  tahun 2001, sebuah pameran keliling di Nadi Art Gallery dan Galeri Nasional Indonesia Jakarta, Purna Budaya Yogyakarta, Circle Point Art Space di Washington DC, USA. Tahun 2003, Entang kembali berpameran di Rhode Island, di Foundation Gallery, Provenance, dimana satu lukisannya ‘Portrait in a Gold Rain’, dicekal tanpa alasan yang jelas selain dianggap terlalu vulgar dan tidak berkenan bagi publik AS yang sensitif setelah peristiwa 9/11.

Pencekalan itu tidak menghalangi Entang untuk terus berkarya. Pada tahun 2005, pameran tunggalnya, ‘Inter-Eruption’ , di Bentara Budaya Jakarta kembali mengukuhkan dirinya sebagai salah satu seniman paling signifikan di Indonesia. Dalam ‘Inter-Eruption’, Entang mengolah gagasan yang berbeda-beda, sesungguhnya bertumpu pada semangat yang sama, yakni proses persilangan, pertentangan, ambivalensi yang menuntut negosiasi terus- menerus dari berbagai preferensi dan jejak-jejak gejala yang menghasilkan dunia penuh paranoia. Kadar kecemasan kian terasa karena hampir semua karya-karya itu dibuat dalam ukuran besar, seperti sebuah bangunan panggung yang kolosal dan mencekam. Seperti tampak dalam karya "Forest of Eyes" dimana sekitar 1.300 bentuk mata yang diletakkan pada hamparan dengan bentukan pagar besi runcing di tengah-tengahnya.

Eksplorasi medium yang unik dilakukannya seperti dengan memakai kulit telur puyuh untuk karya-karya tiga dimensi. Bagian permukaan patung dari bahan resin ia lapisi kulit telur dengan lem kayu. Jadilah permukaan patung, yang umum menggambarkan manusia atau makhluk mirip manusia, menjadi kasar. Warnanya didominasi oleh bercak coklat tua atau putih padam, yaitu warna asli kulit telur itu. Bagi Entang, sifat gampang retak atau pecah itulah kulit telur menjadi berharga bagi dunia seni. "Fragility itu yang saya cari. Saya menempelnya ke patung manusia seperti memberi sifat rapuh manusia kepada karya-karya tersebut," tutur Entang, seperti dikutip oleh kritikus Efix Mulyadi, 2005.

Entang juga dikenal sebagai seniman yang selalu terlibat dengan lingkungan sekitarnya, karena itulah ia dan istrinya, Christine Cocca, seorang aktivis dari AS, membuat Antenna Project pada tahun 2005, sebuah ruang seni yang terbuka untuk berbagai eksperimentasi dan proyek komunitas, di rumah mereka di Yogyakarta. Entang juga menghibahkan karyanya sebuah instalasi ruang publik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, berjudul ‘Interkoneksi’, terbuat dari campuran lempengan stainless, tembaga, dan kuningan setinggi lima meter menggambarkan figur sebuah keluarga.

Pameran tunggalnya yang terakhir di Indonesia, bertajuk "Love Me or Die" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, tahun 2010, menampilkan 20-an karya, beberapa di antaranya berskala besar, dan mencakup berbagai medium, mulai dari lukisan, cat air, instalasi aluminium, video dan performance. Dengan beragam pendekatan dan bentuk, karya-karya dalam ‘Love Me Or Die’ menguatkan pencapaian artistik Entang terutama dengan karakteristik karya-karyanya yang grotesk tapi juga megah, seperti sebuah teater tentang kekerasan dan sisi gelap manusia.

Di halaman galeri, terpajang rangkaian wayang aluminium raksasa-setinggi delapan meter- yang menggambarkan tabiat angkara murka. Ada sepasang kekasih berdekapan tetapi salah satu tangannya menghujamkan belati pada pasangannya. Dinding teras galeri digambari kulit manusia yang sudah bermetamorfosis menjadi totol-totol atau loreng. Patung kepala besar yang menjulurkan lidah panjang. Sosok perempuan berdiri anggun di atas teratai dengan sanggul yang ditusuk belati dan orang-orang yang seolah akan terjun ke perangkap yang penuh tombak.

Teater kekerasan Entang yang kolosal adalah kumpulan refleksi dan pernyataannya akan berbagai situasi dan kondisi masyarakat sekarang ini yang dipenuhi dengan berbagai persoalan dan ancaman konflik horizontal yang berakar dari sosial-budaya. Namun, Entang sendiri berkata bahwa ia tidak ingin mengkritisi persoalan-persoalan tersebut. Ia ingin menjadi bagian dari segala gangguan itu dan mengambil pandangan dari dalam, yang kemudian ia curahkan di karya-karyanya. Tutur Entang, seperti dikutip jurnalis Ilham Khoiri, "Saya berusaha jujur mengungkapkan realitas agresif manusia. Dengan begitu, siapa tahu kita tersadar akan pentingnya membangun kehidupan lebih beradab,".

Disarikan dari:

Kuss Indarto, "Entang Wiharso, the Melting Soul...", Visual Arts Edisi Perdana, Juni/Juli 2004,

Efix Mulyadi, “Entang Wiharso, Energi Seni Kuli Telur”, KOMPAS - Senin, 11 Apr 2005

M Dwi Marianto, ‘Merepresentasi Api dengan Bahasa Api: Sebuah Refleksi atas Pameran Nusa Amuk Entang Wiharso’, KOMPAS - Minggu, 08 Jul 2001

Suwarno Wisetrotomo, ‘Laku, Gagas, Kata dan Rupa’, KOMPAS - Minggu, 10 Jun 2007

Efix Mulyadi, ‘Nurani Yang Dicekal Amerika’, KOMPAS - Sabtu, 08 Feb 2003

Wicaksono Adi, ‘Dunia Kecemasan Entang Wiharso’, KOMPAS - Minggu, 10 Apr 2005

Ilham Khoiri, ‘Teater Kekerasan Entang Wiharso’, Kompas, November 2010