ivaa-online.org

FX Harsono

FX Harsono (lahir di Blitar, Jawa Timur, 22 Maret 1949), salah satu perupa senior yang masih sangat aktif dan produktif dengan karya-karya yang selalu relevan dengan isu sosial di Indonesia. Berbasis awal seni grafis, ia menempuh pendidikan seni di ASRI (sekarang ISI) dari 1969 sampai 1974, dan juga di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dari 1987 sampai 1991. Sekarang ia tinggal dan bekerja di Jakarta.

Harsono mulai aktif di dunia seni rupa pada pertengahan 1970-an, terutama sebagai salah satu seniman yang turut menginisiasi deklarasi Desember Hitam, sebuah gerakan seniman yang beroposisi terhadap institusionalisasi seni oleh pemerintah tahun 1974. Setahun kemudian, ia dan sejumlah seniman lainnya mendirikan Gerakan Seni Rupa Baru, yang melakukan berbagai dobrakan estetika seni rupa masa itu, memperkenalkan berbagai pendekatan seni rupa yang pada saat itu masih dianggap anti-estetis dan menyalahi konvensi, seperti instalasi dan performance art.

Selama 1980-an FX Harsono terlibat dalam apa yang oleh Harsono dan para sejawatnya sebut sebagai seni kontekstual dan/atau seni penyadaran.  Tujuan utama gerakan seni ini adalah mengembangkan sarana yang memungkinkan praktik artistik bisa menjadi ruang representasi dan komunikasi yang dialogis.  Perhatian Harsono segera terserap ke masalah lingkungan hidup sepanjang 1980-an, seperti ditunjukkan oleh beberapa pameran yang diikutinya pada masa itu, dan menjalin kolaborasi dengan para aktivis seperti dengan Asosiasi Peneliti Indonesia (API) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Ia meneruskan pengkarayaan berbasis seni penyadaran ini sampai awal 1990-an. Seperti karyanya  yang mengangkat sebuah kisah lokal, ‘Suara dari Dasar Bendungan’ (1994).

Kemudian seperti dicatat oleh pengamat seni Amanda Rath, sebuah pergeseran yang jelas pada pengkaryaan Harsono menjalang Reformasi dan sesudah kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Seperti bisa dilihat pada karya ‘Korban Destruksi’, 1997-98, Harsono belum berhenti melancarkan kritik sosial atau menunjukkan empatinya terhadap penderitaan. Namun karya-karyanya kemudian menjadi lebih lugas, menohok keras, ironis dan getir, introspektif dan refleksif. Sifat ganda rakyat sebagai Korban dan yang mengorbankan, pendakwa sekaligus terdakwa, semakin ditonjolkan. Ini pun bisa dilihat juga seperti di serial karya grafisnya, ‘Republik Indochaos’ (1998).

Setelah 2000-an, karya-karya Harsono menjadi lebih internal, menelusuri sejarah personal namun tetap berrelasi dengan perkembangan situasi sosio-kultural di Indonesia, seperti dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia, ‘Displaced’, tahun 2003. Seperti yang dicatat oleh kritikus Efix Mulyadi: karya-karya FX Harsono-seluruhnya 20 judul-sarat dengan simbol, ikon, tanda, kode, juga teks, atau sekadar deretan huruf tanpa makna. Judul menjadi salah satu bagian penting dalam 20 karya yang ia kerjakan dengan berbagai medium dan gabungan berbagai cara, seperti cetak digital, fotografi, silkscreen, gambar, photoetching, dan diramu dengan teks. "Masalah sosial saya tarik ke dalam," tutur Harsono. Sejumlah karyanya dengan jelas menampilkan potret dirinya menjadi aktor. Seperti Corgito Ergo Sum (2002-2003) yang terdiri dari enam panel, masing-masing berisi potret wajahnya berwarna putih abu-abu dengan teknik digital print.
 
Fase ini berlanjut dalam dua pameran berikutnya, ‘Titik Nyeri’, di Langgeng Icon Gallery Jakarta (2007), dan ‘Erased Time’ di Galeri Nasional Indonesia (2009), dimana ia menghadirkan sejumlah karya video performance menuliskan sendiri nama Cina-nya, Oh Hong Bun, dengan aksara Cina. "Pameran ini menjadi semacam kesaksian, pernah terjadi sejarah kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat China di Indonesia. Semoga semua ini tak terulang lagi," kata Harsono, seperti dicatat oleh Ilham Khoiri.

Filsuf ST Sunardi membaca karya Harsono sebagai berikut, ”Secara sepintas saya melihat seolah-olah Harsono melakukan retraumatisasi. Ini pasti sebutan yang kejam. Cara membaca karya Harsono ini bisa menghindarkan kita dari bias Harsono yang melakukan viktimisasi diri. Seluruh eksperimentasi estetik dimaksudkan untuk membaca ulang jejak-jejak tadi. Hasilnya ini: walaupun karya-karyanya banyak menggunakan instrumen-instrumen representasi mekanik, kita melihat bahwa sublim (dalam arti seluas-luasnya) justru menjadi begitu kuat.”

Selama lebih dari tiga dekade pengkaryaannya, FX Harsono secara total merefleksikan segala hal yang signifikan dalam hidupnya, mulai dari isu-isu besar di luarnya, negara, isu identitas, minoritas, sampai ke kontemplasi akan keberadaannya sendiri. Semua ini kemudian dirangkum dalam pameran retrospektifnya: ‘Testimonies’, di Singapore Art Museum, 2010.

Papar Harsono, "Tanah asal atau akar bagi kehidupan saya bukanlah suatu hal yang penting. Bahkan dapat dikatakan tidak ada lokasi geografis atau kultural yang bisa disebut sebagai tanah asal atau akar budaya. Saya hanya bisa menyebut cerita dari mana saya lahir dan dibesarkan. Maka, kesejarahan bagi saya lebih penting daripada akar kebudayaan. Artinya kebudayaan 'asli' yang melatarbelakangi kehidupan saya sebenarnya tidak ada dan tidak lagi penting. Identitas bukan berdasarkan pada tempat berasal, tapi lebih terkait pada kesejarahan dan kesejarahan tidak terpaku pada satu budaya saja, melainkan percampuran budaya-budaya. Identitas tidak mempunyai makna tunggal bagi saya, melainkan tercipta karena keragaman. Semua ini menjadikan saya sebagai bagian dari identitas hibrida."

Disarikan dari:
Amanda Katherine Rath, "Syarat-Syarat Kemungkinan Dan Batas-Batas Keefektifan Etika Universal Pada Karya-Karya FX Harsono", 2003, dalam RE: PETISI/POSISI, Langgeng Art Foundation, 2010, halaman 1-23.

Efix Mulyadi, KOMPAS - Sabtu, 07 Jun 2003   Halaman: 33

Hendro Wiyanto, "Reposisi: Narasi Individual",  dalam RE: PETISI/POSISI, Langgeng Art Foundation, 2010,  halaman 168-181.

FX Harsono, "Transisi, Pernyataan Seniman", dalam Displaced (katalog)

ST Sunardi, RE: PETISI/POSISI, Langgeng Art Foundation, 2010

Ilham Khoiri, ‘Nama Saya Oh Hong Bun’, KOMPAS - Kamis, 12 Nov 2009