ivaa-online.org

KARYA SENI

Keluarga Suwandi, Desa Margasari, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal [Seri Komunitas Muslim Keturunan]

Pelaku Seni : Bodi Chandra
Medium : Model
Tahun Pembuatan : 2003
Dimensi Karya : 50 cm x 70 cm x cm
Deskripsi :

Karya ini adalah bagian dari Seri Komunitas Muslim Keturunan, 2003.

Dikutip dari Katalog Common Ground, 2003:

Sebagai wartawan foto saya melihat sendiri bagaimana masyarakat Cina diperlakukan setiap kali terjadi ketegangan politik di Indonesia, terutama saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998 lalu di Jakarta. Kerusuhan ini --yang kemudian diikuti dengan kerusuhan serupa di banyak kota lain di seluruh Indonesia-- merupakan puncak dari ketidakpuasan rakyat Indonesia atas pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto.

Mereka melampiaskannya dengan membakar mal dan supermarket, gedung-gedung instansi pemerintah, juga menyerang toko-toko milik keluarga keturunan Cina yang dianggap mewakili lapisan masyarakat yang hidup lebih makmur dan mempunyai hubungan dekat dengan pemerintahan Orde Baru. Di beberapa lokasi di Jakarta bahkan terjadi pemerkosaan terhadap para perempuan Cina.
Saat itu, beberapa warga keturunan Cina selamat dari amukan massa dengan menuliskan kata “pribumi” atau “muslim” di dinding rumah atau toko. Beberapa bahkan secara mencolok menggantungkan sajadah di pintu rumah.

Saya mengangkat tema Komunitas Muslim Tionghoa di Indonesia dengan mengingat kembali seluruh peristiwa tersebut. Saya pergi ke kota-kota di Jawa Tengah --Purwokerto, Semarang, Slawi, Tegal,  melakukan dialog, dan berinteraksi bersama mereka. Para keluarga ini samasekali tidak merasa bahwa mereka adalah Cina, atau berbeda dari masyarakat lain. Mereka lebih merasa seperti orang Indonesia, karena mereka lahir dan besar di sini. Banyak yang tak lagi kenal bagaimana wajah tanah leluhurnya atau bahkan tidak lagi bisa berbahasa Cina.
Sejarah hubungan Cina-Islam-Nusantara bahkan sudah berlangsung sejak awal abad ke-16 --jauh sebelum Indonesia terbentuk. Walaupun begitu serentetan perlakuan diskriminatif dan kekerasan yang dialami masyarakat keturunan, Muslim atau bukan, membuat banyak anggotanya enggan untuk ditemui. Ada 4 keluarga yang bersedia  --semua dengan sejarah interaksi yang berbeda-beda:

Haji Suwandi (Giok Cin Siouw), 50 tahun, mengaku tidak tahu sudah berapa keturunan ia terpisah dari nenek moyangnya di Tiongkok sana. Ia tak lagi memberi nama Tionghoa pada keenam anaknya. Ia telah menetap di Slawi sejak 1984 dan tak ingin meninggalkan tempat itu karena tak pernah merasa diperlakukan berbeda, bahkan sejak sebelum memeluk Islam sepuluh tahun lalu. 

Sutanto (Gan Liang Tjoen), 42 th, warga Purwokerto, menikah dengan seorang perempuan dari Padang, Sumatera Barat. Karena lahir di Indonesia, ia merasa orang Indonesia.

Yusuf Gunawan (Khoe Teng Ay), 50 th, warga Purwokerto, menyatakan dirinya sebagai orang Indonesia asli, mengingat cikal bakal kerajaan Islam di Jawa erat hubungannya dengan asimilasi penduduk asli nusantara dengan bangsa Tiongkok. Gunawan dan beberapa warga Tionghoa muslim lainnya mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), yang sekarang dikenal dengan nama Pembina Imam Tauhid Islam.

H.Muhammad Gautama Setiadi (Sie Gwan Suie), 52 th, warga Semarang, adalah satu-satunya dalam keluarganya yang memeluk Islam. Semua saudaranya masih menganut kepercayaan terhadap leluhur di Hokkian sana.

Selain itu saya juga mengamati komunitas muslim Tionghoa di Purwokerto --yang tergabung di Masjid PITI-- yang selama ini berfungsi sebagai pusat perkumpulan antara warga Tionghoa Muslim dengan masyarakat setempat. Tak ada persoalan etnisitas dan konflik agama di Purwokerto dan karena itu hidup menjadi lebih khusyuk dan damai di sana.

Image