Para perupa kita menjelaskan karyanya dengan sejenis cerita atau narasi. Dengan cara itulah rupa pada karya-karya mereka turut dimaknai dan seakan selalu tinggal dalam sudut pandang hiperbola: lebih lebar dan lebih besar dari kehadiran sang rupa itu sendiri. Rupa memperoleh alasan kehadirannya pada ujaran, pada rangkaian susunan cerita yang hebat sebagai landasan yang menyebabkan lahirnya "sang rupa".
Rupa tak terjelaskan berkaitan dengan kasanah rupa itu sendiri, dinamika internalnya, "organisme" yang sebenarnya diam-diam ikut bertumbuh dalam evolusi pemikiran senimannya, yang akhirnya dapat mencukupi dirinya sendiri, nyata pada dirinya sendiri. Ya, semacam "cerita" di dalam rupa itu sendiri telah dengan sengaja atau tidak diabaikan. Dengan kata lain, pada karya para perupa kita "konsep" cerita menjadi lebih mengemuka, serta-merta penting ketimbang "konsep" perihal swa-rupa, betapa pun sang rupa itu tampak ganjil, unik dan bahkan "melampaui" cerita, magnit yang kuat menyedot perhatian kita pada pandangan pertama.
Pada lukisan-lukisan I Gusti Ngurah Udiantara yang dipamerkan di Nadi Gallery kali ini, kecenderungan seperti itu kentara jelas. Perihal "isi" atau "pesan" dalam karyanya dapat diuraikan lewat cerita, yakni verbalisme yang ingin disampaikan oleh senimannya. Mulut seniman, umpamanya adalah sumber cerita yang tak ada habisnya.

(Pengantar Kuratorial oleh Hendro Wiyanto)

• Film Biru (Blue Film)
• Makan Siang Petani (Farmer's Lunch)
• Megibung
• Membuang Sial (Getting Rid Of Bad Luck)
• Mencium Bau (Smelling the Stench)
• Menuju Jalan Terang (Toward the Path of Light)
• Orkes Sumbang (Discordant Orchestra)
• Percakapan Daun (Chat of the Leaves)
• Sang Hedonis (The Hedonist)
• Sang Perokok (The Smoker)
• Sex and Sexy (Sexy Sex)
• Superileks (Superelaxed)
• Topeng Pemutih (Whitening Mask)

• Gusti Ngurah Udiantara