ivaa-online.org

PERISTIWA SENI

Hak Milik dalam Performance Art

Tanggal Penyelenggaraan : 2 Oct 2015@Langgeng Art Foundation
Kategori Peristiwa : Diskusi
Deskripsi :

Diskusi ini diadakan untuk membahas polemik kemiripan karya Syagini yang berjudul “Catharsis” (2015) dengan karya Arahmaiani, “Breaking Words” (2004). Keduanya sama-sama menggunakan piring yang kemudian dipecahkan. Melati sebagai moderator diskusi menyebutkan bahwa kemiripan memang sering terjadi dalam dunia seni, reproduksi merupakan hal yang tidak bisa dihindari.

Syagini berpendapat, tidak ada hak milik dalam performance art hanya hak cipta karena mediumnya intangible. Ia juga menolak disebut meniru karya Arahmaiani karena konsepnya berbeda. Dalam “Catharsis”, ia hanya berperan sebagai fasilitator dan karya tersebut ada karena interaksi dari penontonnya yang memecahkan piring. Sementara dalam performance art, ia menyebut seniman menjadi pusat dari karya seninya. Karya ini menurutnya terinspirasi dari stress room di Jepang, di mana orang bisa melampiaskan kemarahannya dengan memecahkan piring. Ia hanya menyiapkan piring dan struktur kemarahan yang ditulis di dinding untuk membantu audiens mengerti penyebab rasa marahnya. Syagini juga menyebut karya ini adalah open text yang bisa menjadi bahan riset lanjutan dari melihat perbedaan perilaku audiens di negara yang berbeda.

Arahmaiani mengaku kata kalimat “thank you for imitating my work” yang ditujukan pada Syagini berkonotasi positif. Sebagai seniman yang berkarya dengan basis komunitas, ia ingin ide-ide karyanya bisa diterima dan diikuti banyak orang. Ia juga menyangkal bahwa dalam performance art, seniman selalu menjadi pusat. Menurutnya, dalam “Breaking Words”, ia juga bertindak sebagai fasilitator dan audiens juga menjadi bagian dari penampil. Ia mengatakan inspirasi karyanya berasal dari kondisi sosial pada 80-an. Medium piring dipakai sebagai simbol kehidupan masyarakat miskin yang harus bisa berjuang untuk makan. Karya dan pilihan medium itu didapatkan dari bergaul dengan komunitas, terutama rakyat kecil. Pihaknya juga menolak adanya konsep kepemilikan dalam performance art. Sebab menurutnya, performance art ia pilih untuk mempertanyakan sistem arus utama yang sangat bergantung pada pasar. Performance art tidak bisa diperjualbelikan dan baginya itulah yang ingin ia capai: menyebarkan gagasan. Arahmaiani menyebut aksi dan property dalam performance art hanya menjadi penanda dari ide atau konsep, mereka hanya jejak-jejak karya saja, proseslah yang lebih utama.  Ide juga terus bergerak dan berkembang, maka ia tidak mempermasalahkan gagasan tersebut akan ditiru orang lain. (RC)

 

Karya Seni Terkait :
Pelaku Seni Terkait :

Koleksi Dokumen

Judul Dokumen Tahun Terbit
Rekaman Video Hak Milik dalam Performance Art
Rekaman Video
2015