Biennale DKJ, yang sampai saat ini menjadi anutan (karena satu-satunya di Indonesia) haruslah merupakan motivator untuk menumbuhkan cita rasa dan konsistensi mencipta karya-karya unggul. Dari sana diharapkan adanya barometer bobot dan mutu seni, sehingga dari sana pula momentum kreativitas diciptakan dan dijamakkan.

Konsekwensi logis dan penting, adalah bagaimana mungkin DKJ mampu melakukan pilihan-pilihan terbaik dan tidak salah, dalam konstelasi perkembangan seni lukis Indonesia yang kian majemuk saat ini. Jika hendak beranjak dari sikap subyektifitas, maka setiap seniman patut terundang. Tapi berangkat dari sikap obyektifitas pun, kian pelik, mengingat nilai-nilai yang tumbuh di lahan semakin volumetrik. Maka justru dalam hal inilah, DKJ harus bisa menguasai jarak yang menjadi penghalang (khususnya) dialog penciptaan seni, dengan mencoba menjaring elemen-elemen pendukung terciptanya suatu ajang/pameran Biennale dengan tidak mengurangi bobotnya yang khusus dan diidamkan banyak pelukis Indonesia.

Dalam hal ini, DKJ harus bisa menjadi elemen pendukung dari suatu sebab-akibat, bukannya menjadi penentu ambisi kolegial. Oleh sebab itu pula, DKJ dan seniman-seniman di luar DKJ sama-sama menjadi subyek substansial dan ideal. Biennale lantas bukan suatu arena absoludisme DKJ. Ia, secara urgensinya, menjadi daya dorong banyak seniman untuk saling memberi arti, saling menimba konsepsi seni dalam era perkembangan bobot dan mutu. Dengan demikian, Biennale adalah sesuatu yang mutlak, kehadirannya menjadi ukuran fenomenologis.