Bagi Rosid dan Yus, sepertinya tubuh beserta gesturnya adalah manifestasi gerak dan misteri dinamika batin. Mereka mengakrabi yang familiar dan  menggumuli banalitas keseharian, namun bukan sekedar untuk memotretnya, melainkan untuk merenungi rincian detailnya, bahkan me-‘rontgen’nya, menembusi yang fisik dan mengintip jejak-jejak halus riwayat batin di balik dagingnya;  katakanlah, mereka menangkap ‘the ephemeral sublime’ di baliknya.

Rosid melakukannya dengan memperbesar  bagian rinci obyek bagai menggunakan kaca pembesar. Siasat itu efektif untuk membetot perhatian kita pada puitika bagian-bagian yang sederhana : bagaimana jari-jemari seorang anak yang bermain dengan jejari ibunya, misalnya, tiba-tiba menjadi demikian magnetik, bagai sajak mini haiku, yang dalam kesahajaannya mengatakan demikian banyak hal yang mendalam ihwal dinamik hubungan hati manusia. Teknik arsiran pada figur dengan format besar umumnya  efektif pula menganimasi obyek  dan sekaligus menciptakan konteks: mengubah gerak benda menjadi medan  komunikasi ruh. Sesekali ia menimpakan obyek lain yang agak asing di dalamnya, namun itu tidak menjadikan lukisan-lukisannya surrealis, sebab obyek-obyek tambahan itu seringkali hanyalah penegasan konteks yang dibangunnya saja.

Akan halnya Yus Herdiawan, fokus utamanya adalah hidup perkawinan. Yang menarik adalah upayanya untuk menampilkan gambar negatif figur-figur pengantin. Ini bisa menjadi siasat jitu untuk menampilkan ambiguitas tersembunyi di balik mitos dan ritus perkawinan.

(Cuplikan Pengantar oleh Bambang Sugiharto)