Kuss Indarto lahir pada 26 Maret 1969 di Yogyakarta. Di tahun 1999, Kuss menyelesaikan pendidikan Seni Grafis di Fakultas Seni Rupa ISI. Selama 1991-2001, Kuss menjadi ilustrator, karikaturis, dan anggota redaksi Harian Bernas Yogyakarta. Kuss kemudian mulai menjadi pengamat seni rupa dan kurator independen pada tahun 2002. Di tahun tersebut, Kuss menjadi kurator pada pameran "Pertemuan Dua Etnik" di Jogja Fine Art Community (JFAC) Yogyakarta, dan "Geliat" di Sarah Art Gallery, Padang Sumatra Barat. Beberapa pameran berikutnya yang dikuratorinya antara lain: "Barcode" dalam FKY XVI di Taman Budaya Yogyakarta (2004); "Inter-Eruption - Pameran Tunggal Entang Wiharso" di Bentara Budaya Jakarta (2005); "Biennale Seni Visual Yogyakarta" dalam Biennale Jogja IX: Neo-Nation (2007); "Freedom" di Taman Budaya Yogyakarta dan Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2008); "Commemoration" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2009); Pameran Nusantara “Imaji Ornamen” di Galeri Nasional Indonesia (2011); "Pameran Tunggal Choerudin" di Galeri Chandan, Kuala Lumpur, Malaysia (2013); dan Pameran Nusantara “Meta Amuk” di Galeri Nasional Indonesia (2013).
Kuss juga terlibat dalam berbagai organisasi dan event seni lainnya, antara lain: Ketua Divisi Seni Rupa Festival Kesenian Yogyakarta (2005-2008); Pemrasaran utama dalam Seminar Nasional Seni Rupa di Galeri Nasional Jakarta (2007); Anggota redaksi majalah Pusara Tamansiswa Yogyakarta (2007-2012); anggota kurator Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2008-2012); anggota Steering Committee Biennale Seni Visual Yogyakarta/Biennale Jogja (2009-2013); anggota tim juri Kompetisi Tujuh Bintang Art Award 2009; anggota tim juri Indonesia Art Award 2010; anggota juri Kompetisi Seni Lukis Remaja YSRI 2012: dan pendiri dan Editor-in-Chief situs seni www.indonesiaartnews.or.id.
Menurut Kuss, seni dapat menjadi alternatif riset sejarah, kritik sosial dan konfirmasi gejala sosial kultural. Contohnya patung berjudul Hallucinogenic (2014) karya Titarubi dapat menjadi alternatif riset sejarah. Patung tersebut berbentuk manusia berjubah, dengan material yang terbuat dari ratusan buah pala yang disemprot dengan cat berwarna emas. Karya tersebut merupakan hasil riset yang akhirnya dapat menggambarkan Ternate dan Tidore sebagai sumber rempah-rempah terbesar di dunia pada abad 16. Karya seni lain, yaitu lukisan Agus Jaya berjudul “Dunia Anjing” (1965), dapat menjadi contoh bagaimana karya seni menggambarkan kritik sosial terhadap kondisi sosial dan politik di suatu masa di tanah Air. Lukisan tersebut menggambarkan kondisi politik di Indonesia yang sangat anti terhadap kelompok komunis. Contoh karya seni lain dapat menjadi konfirmasi terhadap gejala sosial. Diantaranya adalah salah satu lukisan karya Ivan Sagita yang menggambarkan potret wanita seperti berkaca, menunduk namun kakinya tak menyentuh bumi. Lukisan tersebut hasil dari riset untuk menangkap adanya fenomena banyaknya kejadian bunuh diri akibat tekanan ekonomi, sosial dan politik di Jawa. dengan begitu, seni akan selalu berkaitan dengan jejak peradaban manusia, serta dapat menjadi penanda suatu zaman.
(profil ini ditulis pada November 2016)
sumber:
http://indonesiaartnews.or.id/
http://galeri-nasional.or.id/halaman/853-kuss_indarto
http://kuss-indarto.blogspot.co.id/