Kritik seni rupa masih tergantung pada proses mediasinya. Adanya media sebagai tempat untuk memberikan kecenderungan lebih komunikatif dengan menyadarkan nilai-nilai kritis atau malah sebaliknya, terjebak pasar dengan subjektivitas dari media yang memuat. Di sisi lain, karya seni dilahirkan dari setiap sejarah di dalam masyarakat yang memiliki lingkup sosialnya sendiri dengan relasi antarkelompok, institusi hingga perubahan selera yang berjalan di masyarakat itu sendiri. Jika asumsi-asumsi dari estetika selalu bersifat sosial, maka selalu ada kepentingannya, sehingga dimensi-dimensi lain dari ekstra estetik (sosial, politik, dan ekonomi) sangat diperlukan. 

Mengutip perkataan Amir Sidharta, Kuss Indarto mengatakan bahwa seorang kritikus seni rupa idealnya menyosialisasikan gagasannya dan mampu mengakomodir kepentingan pasar. Kritik seni selama ini bertolak belakang dengan pasar, juga ketika dimediakan malah menjadi alat legitimasi gagasan tertentu yang dibawa seniman atau elemen seni tertentu. Kritik yang kritis sangat jarang diterima oleh pengunjung (penonton pameran). Hal ini sudah berkaitan erat dengan konteks sosial historis yang meliputi seperti yang digunakan pada culture studies.

Namun, sebelum beranjak lebih dalam, kritik dan kritikus seni rupa harus diketahui posisinya. Perkembangan kritik seni dipengaruhi faktor-faktor seperti pasar dan media. Perlu adanya pembacaan kembali mengenai posisi kritikus ditempatkan di mana, dalam porsi sebagai apa, dan fungsinya apa, karena pengunjung yang datang diharapkan dari berbagai kalangan. Meski sebaiknya pengunjung memercayai estetika dalam konteks seni terlebih dahulu, namun proses kritik seni akan memberikan sebuah pandangan kritis dan mengajak dialog dengan pengunjung. Maka, sebuah kritik seni dapat menjadi karya, bukan malah menjadi kepanjangan dari karya seniman. (ATH)

Arsip audio wawancara ini dapat diakses dengan menghubungi arsiparis IVAA melalui email archive@ivaa-online.org

• Nuraini Juliastuti
• Kuss Indarto